Minggu, 01 Mei 2016

ESENSI BELAJAR SEPANJANG HAYAT



Pendahuluan
Belakangan ini, belajar sepanjang hayat telah menjadi kecenderungan (trends) pilihan di berbagai negara,  seperti Jepang, Thailand, India, beberapa negara di Afrika, dan Negara-negara yang tergabung dalam Uni Eropa. Di Jepang misalnya telah diterbitkan regulasi sebagai wujud komitmen bersama dalam bentuk Undang-undang Belajar Sepanjang Hayat (the Law for the Promotion of Lifelong Learning). Bahkan negara-negara yang tergabung dalam Uni Eropa memiliki komisi khusus yang menangani proses belajar sepanjang hayat, termasuk pengembangan indikator dan sistem penjaminan mutunya.
Belajar sepanjang hayat adalah suatu konsep, suatu idea, gagasan pokok dalam konsep ini ialah bahwa belajar itu tidak hanya berlangsung di lembaga-lembaga pendidikan formal seseorang masih dapat memperoleh pengetahuan kalau ia mau, setelah ia selesai mengikuti pendidikan di suatu lembaga pendidikan formal. Ditekankan pula bahwa belajar dalam arti sebenarnya adalah sesuatu yang berlangsung sepanjang kehidupan seseorang. Bedasarkan idea tersebut konsep belajar sepanjang hayat sering pula dikatakan sebagai belajar berkesinambungan (continuing learning). Dengan terus menerus belajar, seseorang tidak akan ketinggalan zaman dan dapat memperbaharui pengetahuannya, terutama bagi mereka yang sudah berusia lanjut. Dengan pengetahuan yang selalu diperbaharui ini, mereka tidak akan terasing dan generasi muda, mereka tidak akan menjadi snile atau pikun secara dini, dan tetap dapat memberikan sumbangannya bagi kehidupan di lingkungannya1. Belajar erat kaitannya dengan psikologi.
Jiwa manusia berkembang sejajar dengan pertumbuhan jasmani, sejak dari masa bayi, kanak-kanak dan seterusnya sampai dewasa dan masa tuĆ£. Makin besar anak itu makin berkembang pula jiwanya. Dengan melalui tahap-tahap tertentu dan akhimya anak ito mencapai kedewasaan balk dari segi kejiwaan maupun dari segi jasmani.
Dalam perkembangan jiwa dan jasmani tersebut, manusia perlu belajar. Masa belajar itu bertingkat-tingkat, sejalan dengan fase-fase perkembangannya, sejak masa kanak-kanak sampai masa tua. Dan sini dapat dipahami bahwa belajar merupakan kebutuhan sebagai bekal untuk menempuh kehidupan disepanjang hayatnya. Melalui pembahasan ini dimaksudkan untuk lebih memahami hakekat belajar dan bagaimana memberikan motivasi bahwa belajar itu sebenarnya berlangsung secara terus-menerus dan berkesinambungan sejak dari buaian sampai hang lahat.
Belajar dan fase-fase perkembangan
Belajar merupakan aktivitas anak (manusia) yang sangat vital. Dibandingkan dengan mahkuk lain, di dunia ini tidak ada mahluk hidup yang sewaktu baru dilahirkan sedemikian tidak berdayanya seperti bayi manusia Sebahlknya tidak ada mahkuk lain di dunia ini yang setelah dewasa mampu menciptakan apa yang telah diciptakan manusia dewasa.3
Jika bayi manusia yang baru dilahirkan tidak mendapat bantuan dari orang dewasa, niscaya binasalah ia. Ia tidak mampu hidup sebagai manusia jika ia tidak diajar/ di didik oleh manusia lain, meskipun bayi yang baru dilahirkan itu membawa beberapa naluri/ instink dan potensi-potensi yang diperlukan untuk kelangsungan hidupnya. Namun potensi-potensi bawaan tak dapat berkembang dengan baik tanpa adanya pengaruh dan luar. Usia bukan hanya mahiuk biologis seperti halnya hewan, tetapi juga mahiuk social budaya. Karena itu manusia membutuhkan kepandaian yang bersifat jasmaniah dan rohaniah, dan semua ini hanya dapat dicapai melalui belajar. Jelas bahwa belajar sangat penting bagi kehidupan seorang manusia. Disamping itu dapat dipahami bahwa anak (manusia) membutuhkan waktu yang lama untuk belajar, sejak dari masa kanak-kanak sampai masa tua sepanjang kehidupannya. Karena itu manusia selalu dan senantiasa belajar kapanpun dan dimanapun.
Adapun belajar itu sendiri dapat didefinisikan antara lain:
1.      Hilgard mengatakan: Learning is the proses by which an activity originates as changed through training procedures (whether in the laboratory or in the natural environment). Belajar adalah proses yang melahirkan atau mengubah suatu kegiatan melalui jalan latihan (apakah dalam laboratorium atau dalam Iingkungan alamiah).
2.      Morgan, belajar adalah setiap perubahan yang relative menetap dalam tingkah laku yang terjadi sebagai suatu hasil dari latihan atau pengalaman.
3.      James P. Chaplin, learning (hal belajar, pengetahuan), yang berarti perolehan dari sembarang perubahan yang relative permanent dalam tingkah laku sebagai hasil praktek atualisai pengalaman.
Dari beberapa pengertian belajar tersebut, Sumadi Suryabrata menyimpulkan:
1.      Bahwa belajar itu membawa perubahan (dalam anti behavioral changed, aktual maupun potensial.
2.      Bahwa perubahan itu ada pokoknya adalah didapatkannya kecakapan baru.
3.      Bahwa perubahan itu terjadi karena usaha (dengan sengaja).
Dikatakan belajar apabila membawa suatu perubahan pada individu yang belajar. Perubahan itu tidak hanya mengenai jumlah pengetahuan, melainkan juga dalam bentuk kecakapan, kebiasaan, sikap, pengertian, penghargaan, minat, penyesuaian diri. Pendeknya mengenai segala aspek organisme atau pribadi seseorang. Karena itu seorang yang belajar ia tidak sama lagi dengan saat sebelumnya, karena ia lebih sanggup menghadapi kesulitan memecahkan masalah atau menyesuaikan diri dengan keadaan. Ia tidak hanya bertambah pengetahuannya, akan tetapi dapat pula menerapkanya secara fungsional dalam situasi hidupnya.
Dalam hubungan dengan usaha pendidikan, maka belajar adalah key term (istilah kunci) yang paling vital dalam setiap usaha pendidikan sehingga tanpa belajar sesungguhnya tak pernah ada pendidikan. Sebagai suatu proses, belajar selalu mendapat tempat yang luas dalam berbagai disiplin ilmu pendidikan dan psikologis belajar.
Sejalan dengan fase-fase perkembangan pada manusia sejak dari masa kanak-kanak sampai masa tua, dikemukakan oleh Havinghurst yang dikutip oleh Made Pidarta, yaitu:
1.      Fase perkembangan masa kanak-kanak
2.      Fase perkembangan masa anak
3.      Fase perkembangan masa remaja
4.      Fase perkembangan masa dewasa awal
5.      Fase perkembangan masa setengah baya
6.      Fase perkembangan masa tua
Untuk memenuhi tugas-tugas pada setiap fase tersebut, dicapai melalui belajar. Berangkat dari fenomena ini muncullah konsep belajar untuk memberikan layanan-layanan dan prioritas bagi mereka yang tidak lagi belajar pada pendidikan diri dan turut berpartisipasi di dalam aktivitas kehidupan di lingkungan masyarakat.
Konsep Belajar Sepanjang Hayat
Menurut Pramudia (2013:7), belajar sepanjang hayat adalah suatu konsep tentang belajar terus menerus dan berkesinambungan (continuing-learning) dari buaian sampai akhir hayat, sejalan dengan fase-fase perkembangan pada manusia. Oleh karena setiap fase perkembangan pada masing-masing individu harus dilalui dengan belajar agar dapat memenuhi tugas-tugas perkembanganya, maka belajar itu dimulai dari masa kanak-kanak sampai dewasa dan bahkan masa tua. Bertolak dari fase-fase perkembangan seperti dikemukakan Havinghurst, berimplikasi kepada keharusan untuk belajar secara terus menerus sepanjang hayat dan memberi kemudahan kepada para perancang pendidikan pada setiap jenjang pendidikan untuk:
1.      Menentukan arah pendidikan.
2.      Menentukan metode atau model belajar anak-anak agar mereka mampu menyelesaikan tugas perkembangannya.
3.      Menyiapkan materi pembelajaran yang tepat.
4.      Menyiapkan pengalaman belajar yang cocok dengan tugas perkembangan itu.
Dalam hubungannya dengan belajar sepanjang hayat, akan dikemukakan tugas-tugas perkembangan masa dewasa awal, masa setengah baya dan orang tua, untuk memberikan pengalaman belajar yang sesuai dalam rangka belajar sepanjang hayat.
Tugas perkembangan tersebut adalah:
a.       Tugas perkembangan masa dewasa awal: Memilih pasangan hidup, bertanggung jawab sebagai warga Negara, dan berupaya mendapatkan kelompok social yang tepat serta menarik.
b.      Tugas perkembangan masa setengah baya: Bertanggung jawab social dan menjadi warga Negara yang baik, mengisi waktu senggang dengan kegiatan-kegiatan tertentu, menyesuaikan diri dengan perubahan fisik dan pertambahan umur.
c.       Tugas perkembangan orang tua: Menyesuaikan din dengan menurunnya kekuatan fisik, kesehatan dan pendapatan. Menyesuaikan diri dengan keadaan sebagai janda, duda, memenuhi kewajiban sosial sebagai seorang warga Negara yang baik dan membangun kehidupan fisik yang memuaskan.
Tugas-tugas perkembangan itu nampaknya disiapkan untuk belajar sepanjang hayat, yang dapat dilihat dari adanya tugas perkembangan untuk orang dewasa, setengah baya dan untuk masa tua. Tugas perkembangan ini juga amat berguna bagi pendidikan luar sekolah, di rumah dalam kehidupan rumah tangga maupun di lembaga-lembaga pendidikan yang ada di masyarakat, seperti kursus-kursus, perkumpulan sodial, agama, persatuan para lanjut usia dan sebagainya.
Dengan demikian tugas perkembangan yang harus ditempuh melalui belajar, tidak hanya dimulai dan masa kanak-kanak, tetapi berlanjut sampai masa dewasa dan masa tua. Jelas bahwa belajar berlangsung secara terus-menerus dan berkesinambungan sepanjang kehidupan seseorang.
Dalam perspektif islam, belajar sepanjang hayat ini sebenarnya telah dicanangkan oleh Nabi SAW ratusan tahun yang silam, dengan sabdanya:
“Carilah ilmu sejak ayunan sampai ke hang lahat (al-hadits)”. Selain itu dipahami bahwa belajar itu sepanjang hayat, dijelaskan pula bahwa belajar adalah suatu kewajiban, sebagaimana sabdanya pula:
“Mencari ilmu pengetahuan adalah wajib atas setiap orang muslim (H.R.Abdi’I Barr)”.
Dengan memperhatikan kedua hadits tersebut, dapat dipahami bahwa aktivitas belajar sepanjang hayat memang telah menjadi bagian dan kehidupan kaum muslimin. Sedangkan secara umum, gerakan belajar sepanjang hayat itu baru dipublikasikan di sekitar tahun 1970, ketika UNESCO menyebutnya sebagai tahun Pendidikan Internasional (International Education Year). Karena pada tahun itu dilontarkan berbagai isu pembaharuan dalam falsafah dan konsep tentang pendidikan. Latar belakang munculnya gagasan ini ialah rasa kurang puas terhadap pelaksanaan belajar melalui sistem sekolah, yang dikatakan memperlebar jurang antara yang kaya dan yang miskin. Secara eksplisit gagasan ini dilontarkan oleh Paul Lengrand dalam bukunya yang beijudul An Introduction to life Long Education. 16
Pengembangan pemikiran Lengran tersebut merubah anggapan bahwa belajar atau pendidikan itu tidak hanya berlangsung di dunia pendidikan sekolah, sedangkan di luar dunia sekolah sebenarnya secara individual, mereka terus belajar sesuai dengan kebutuhannya masing-masing dan dengan cara yang disenanginya.
Muncul dan berkembangnya konsep belajar sepanjang hayat tersebut menunjukkan bahwa pengalaman belajar tidak pernah berhenti selama manusia itu sadar dan berinteraksi dengan lingkungannya.17 Belajar sepanjang hayat sebagai asas baru, kesadaran baru, harapan baru, membawa implikasi kepada pentingya aktivitas individual mandiri guna senantiasa memburu pengetahuan, pengalaman-pengalaman baru kapanpun dan dimanapun.
Dari gagasan-gagasan baik melahui pendekatan keagamaan, maupun yang bersifat umum, dapat dipahami bahwa hakekatnya belajar itu tiada hentinya, terutama bagi orang dewasa dan orang tua agar mereka dapat mengikuti perkembangan zaman serta penemuan-penemuan baru di bidang pengetahuan dan teknologi.
Belajar sepanjang hayat akan berrnanfaat apabila mendapatkan respon positif dari individu atau warga masyarakat yang memiliki kemauan dan kegemaran untuk belajar secara terus menerus, sesuai dengan kebutuhan kebutuhan masing-masing individu warga belajamya. Dengan demikian konsep belajar sepanjang hayat memiliki signifikasi di dalam masyarakat.
Kesimpulan
1.      Konsep belajar sepanjang hayat adalah suatu idea atau gagasan yang manyatakan bahwa belajar dalam arti sebenarnya adalah sesuatu yang berlangsung secara terus-menerus sepanjang kehidupan, hal ini sesuai dengan tinjauan psikologis yang menjelaskan bahwa pada setiap fase perkembangan, setiap individu perlu belajar agar dapat melaksanakan tugas-tugas pada setiap fase perkembangan tersebut.
2.      Konsep belajar sepanjang hayat berusaha untuk memberikan motivasi kepada mereka yang telah selesai mengikuti pendidikan sekolah, agar tetap belajar dalam rangka meningkatkan kualitas kehidupannya dengan memanfaatkan teori kebutuhan dan psikologi belajar
3.      Konsep belajar sepanjang hayat memiliki signifikasi serta relevansi terhadap kualitas kehidupan individu warga belajarnya. Karena itu konsep belajar sepanjang hayat bila dihubungkan dengan keinginan untuk meningkatkan kualitas kehidupan, maka konsep ini merupakan wahana yang tepat untuk memacu usaha memajukan kehidupan umat.

Daftar Pustaka
Casey, C. (2006). .A knowledge economy and a learning society: A comparative analysis of NewZealand and Australian experiences." The British Journal of Comparative Education, 36(3), 343-357.
Comission Communication. (2001). Making a European Area of Lifelong Learning a Reality.
Dulayakasem, U. (2005). Past/fFuture of non-formal education management. Bangkok: Monitoring and Evaluation Group. The Office of Non-formal Education Administration
Longworth, Norman and Davies, W. Keith. (1996). Lifelong Learning: Learning. London: Kogan Page.
Pramudia, J.R. 2013. Belajar Sepanjang Hayat: Konsep, Kebijakan, dan Aplikasi dalam Pendidikan Nonformal Menuju Masyarakat Berpengetahuan. Bandung: Edukasia Press

Sabtu, 09 Maret 2013

Memaknai Pemberdayaan




  • Menurut Shardlow (1998), pemberdayaan pada intinya membahas bagaimana individu, kelompok ataupun komunitas BERUSAHA MENGONTROL KEHIDUPAN MEREKA SENDIRI DAN MENGUSAHAKAN UNTUK MEMBENTUK MASA DEPAN SESUAI DENGAN KEINGINAN MEREKA.
  • Biestek (1961), mengidentikkanya dengan “Self Determination”, yang pada intinya mendorong klien untuk menentukan sendiri apa yang harus ia lakukan dalam kaitan dengan upaya mengatasi permasalahan yang ia hadapi, SEHINGGA KLIEN MEMILIKI KESADARAN DAN KEKUASAAN PENUH DALAM MEMBENTUK HARI DEPANNYA
  • Sedangkan Suzanne Kindervater mendefinisikan pemberdayaan sebagai “People gaining an understanding of and control over social, economic, and/or political forces IN ORDER TO IMPROVE THEIR STANDING IN SOCIETY.”
  • Lebih lanjut, Kindervater mengemukakan sejumlah indikator perbaikan dan peningkatan keberdayaan masyarakat dalam hal:
    • AccesLeverage (pengaruh)
    •  Choices
    • Status
    • Critical reflective capability
    • Legitimation
    • Discipline
    •  Creative perception
  • Dalam konteks pengembangan sosial dan pembangunan masyarakat, terdapat beberapa prinsip pembangunan berbasis pemberdayaan, yaitu:
    • Kedaulatan, kebebasan, dan demokrasi melalui partisipasi politik yang luas
    • Komunitas lokal mengontrol sendiri sumberdayanya dan memiliki akses memadai pada informasi
    • Membangun suatu sistem nilai yang konsisten sesuai dengan perikehidupan komunitas dan hubungan mereka dengan alam dan sumberdayanya.
    • Membangun semangat gotong royong di antara anggota komunitas untuk membangun masa depan bersama

Mendefinisikan Media Pembelajaran


Proses belajar merupakan faktor internal seseorang yang dapat dikembangkan dan dioptimalkan melalui faktor eksternal atau pembelajaran. Hal ini diyakini karena alur berfikir seseorang  terjadi melalui apa yang ia lihat, dengar, kecap, sentuh, dan lakukan (Dryden & Vos, 2000). Pendapat ini diperkuat oleh Magnessen yang menyatakan bahwa seseorang dapat belajar dengan membaca (10%), mendengar (20%), melihat (30%), melihat dan mendengar (50%), mengatakan (70%), serta mengatakan dan melakukan sendiri (90%). Dalam hal ini, peranan media dan sumber belajar dapat memberikan kesempatan belajar terhadap seseorang sampai dengan 50% (melihat/visual, mendengar/auditif). Beberapa penjelasan penting tentang media pembelajaran digambarkan sebagai berikut.
  1. .....the term refers to anytihing that carries information between a sources and receiver (Smaldinho, dkk, 2005).
  2. Media pembelajaran adalah semua medium yang membawa pesan pembelajaran atau bermuatan membelajarkan seseorang (Newby, dkk, 2000).
  3. Semua sumber yang diperlukan untuk melakukan komunikasi dengan pemelajar
  4. Sebagai alat bantu mengajar yang dimanfaatkan oleh pendidik/pengajar dalam proses pembelajaran
  5. Media memiliki karakteristik dan kemampuan  dalam menayangkan pesan dan informasi (Kemp, 1987).

Definisi dan Kawasan Teknologi Pembelajaran


Laporan AECT yang dipimpin oleh Barbara B. Seels dengan 29 anggotanya, menerbitkan buku yang berjudul Instructional Technology: The Definitoon and Domain Field (1994), telah mengeluarkan definisi kelima tahun teknologi pembelajaran yaitu bahwa:
”Teknologi pembelajaran adalah teori dan praktek dalam desain, pengembangan, pemanfaatan, pengelolaan, serta penilaian dalam proses dan sumber untuk belajar” (Seels dan Richey, 1994).
Dari defnisi di atas diidentifikasi beberapa komponen sebagai berikut:
·         Teori dan praktek
·         Kawasan desain, pengembangan, pemanfaatan, pengelolaan, dan penilaian.
·         Proses dan sumber
·         Untuk keperluan belajar
Berdasarkan uraian komponen definisi tersebut, maka yang menjadi kawasan teknologi pembelajaran adalah:
·         Desain teknologi pembelajaran
·         Pengembangan teknologi pembelajaran
·         Pemanfaatan teknologi pembelajaran
·         Pengelolaan teknologi pembelajaran
·         Penilaian teknologi pembelajaran
Setiap kawasan memberikan konstribusi terhadap pengembangan teori dan praktek yang menjadi landasan keilmuan, dan sebaliknya teori dan praktek juga dijadikan sebagai pegangan dalam pengembangan, kawasan. Tiap kawasan tersebut berdiri sendiri , meskipun saling berkaitan sebagai sesuatu kegiatan yang sistematik.
Arah perkembangan kawasan teknologi pendidikan dan pembelajaran dapat dilukiskan oleh Glenn Snelbecker (1974): bahwa teknologi pendidikan berguna untuk menjawab ”how” (cara bagaimana) tujuan pendidikan dapat dicapai, sedangkan kurikulum berkepentingan untuk menjawab ”what” dan ”why” (apa dan mengapa) isi dan tujuan pendidikan ditentukan.


REFERENSI RUJUKAN

Anglin, Gary J. (1991). Instructional Technology. Past, Present, and Future.
Miarso, Yusufhadi. (2005). Menyemai Benih Teknologi Pendidikan. Jakarta: Pustekkom.Seels, Barbara B. Richey Rita C. (1994). Instructional Technology: The Definition and Domains of the Field. Association for Educational Communication and Technology: Washington, DC.
Seri Pustaka Teknologi Pendidikan. (1986). Definisi Teknologi Pendidikan Satuan Tugas Definisi dan Terminologi AECT. CV. Rajawali. Jakarta.

Desain Pembelajaran


Desain adalah proses untuk menentukan kondisi belajar. Tujuan desain ialah untuk menciptakan strategi dan produk pada tingkat makro, seperti program dan kurikulum, dan pada tingkat mikro, seperti pelajaran dan modul. Definisi ini sesuai dengan definisi desain sekarang yang mengacu pada penentuan spesifikasi (Ellington dan Harris, 1986; Reigeluth, 1983; Richey, 1986). Berbeda dengan definisi terdahulu, definisi ini lebih menekankan pada kondisi belajar bukannya pada komponen-komponen dalam suatu system pembelajaran. Jadi rung lingkup desain pembelajaran telah diperluas dari sumber belajar atau komponen individual system ke perkembangan maupun lingkungan yang sistemik.
Kawasan atau ranah desain paling tidak meliputi empat cakupan utama dari teori dan praktek, yaitu desain system pembelajaran, desain pesan, strategi pembelajaran, dan karakteristik pemelajar Cakupan ini dapat diidentifikasi karena masuk ke dalam lingkup pengembangan dan teori.
Definisi dan deskripsi dari masing-masing daerah liputan tersebut adalah sebagai berikut:
Desain system pembelajaran adalah prosedur yang terorganisasi yang meliputi langkah-langkah penganalisaan, perancangan, pengembangan, pengaplikasian, dan penilaian pembelajaran. Kata desain memiliki pengertian tingkat makro dan mikro karena merujuk pada pendekatan system maupun langkah-langkah dalam pendekatan system. Setiap langkah dalam proses mempunyai langdasan teori dan praktek sendiri seperti halnya pada semua desain system pembelajaran.
Desain pesan meliputi  perencanaan untuk merekayasa bentuk fisik dari pesan (Grabowski, 1991:2006)
Strategi pembelajaran adalah spesifikasi untuk menyeleksi serta mengurutkan peristiwa belajar atau kegiatan pembelajaran dalam suatu pelajaran.
Karakteristik pemelajar adalah segi-segi latar belakang pengalaman pemelajar yang berpengaruh terhadap efektivitas proses belajarnya.


REFERENSI:


Anglin, Gary J. (1991). Instructional Technology. Past, Present, and Future.
Miarso, Yusufhadi. (2005). Menyemai Benih Teknologi Pendidikan. Jakarta: Pustekkom.Seels, Barbara B. Richey Rita C. (1994). Instructional Technology: The Definition and Domains of the Field. Association for Educational Communication and Technology: Washington, DC.
Seri Pustaka Teknologi Pendidikan. (1986). Definisi Teknologi Pendidikan Satuan Tugas Definisi dan Terminologi AECT. CV. Rajawali. Jakarta.

CRITICAL COMMENT


TELAAH KRITIS DEFINISI
TEKNOLOGI PENDIDIKAN (AECT, 2004)

Oleh Joni Rahmat Pramudia


A.   Definisi Teknologi Pendidikan (AECT, 2004)

Teknologi pendidikan dapat didefinisikan sebagai konsep yang abstrak atau bidang praktek (field of practice).
Educational technology is the study and ethical practice of facilitating learning and improving performance by creating, using, and managing appropriate technological processes and resources.
Teknologi pendidikan adalah studi dan praktek etis dalam memberi kemudahan belajar dan peningkatan kinerja melalui penciptaan, pemanfaatan, dan pengelolaan proses dan sumber teknologi yang tepat.

B.    Unsur-unsur Definisi
Definisi di atas mengandung beberapa istilah kunci yang dapat digunakan untuk memahami makna definisi secara tepat. Unsur-unsur tersebut adalah : (1) studi (study); (2) praktek etis (ethical practice); (3) memberi kemudahan (facilitating); (4) belajar (learning); (5) meningkatkan (improving); (6) performans/kinerja (performance); (7) penciptaan (creating); (8) pemanfaatan (using); (9) pengelolaan (managing); (10) tepat (appropriate); (11) teknologi (technological); (12) proses (processes); (13) sumber (resources).

C.  Komentar/Analisis
Definisi yang dikembangkan di atas merupakan definisi revisi teknologi pendidikan,  atas definisi yang pernah dikembangkan terakhir (1994) oleh AECT. Pemikiran untuk melakukan revisi terhadap konsepsi yang sudah ada, wajar saja dilakukan sebagai konsekuensi dari perkembangan ilmu pengetahuan yang terus berubah secara dinamis.
Mencermati konsepsi definisi (meskipun tentatif) yang dikembangkan AECT  (2004), terlihat ada pergeseran paradigma pemikiran yang cukup fundamental. Arah perubahan itu tergambar jelas dalam terminologi atau istilah yang digunakan. Apabila pada definisi 1994 digunakan istilah teknologi pembelajaran (instructional technology), dalam draft definisi 2004 kembali dikembangkan penggunaan istilah teknologi pendidikan (educational technology). Argumentasi perubahan itu didasarkan kepada suatu pemikiran bahwa teknologi pendidikan dipandang sebagai sebuah konstruk yang lebih luas ketimbang teknologi pembelajaran, karena pendidikan memiliki makna yang lebih umum (general) daripada pembelajaran.
Definisi 2004 juga memiliki perbedaan dibandingkan dengan definisi 1994 dalam beberapa hal:
  1. Istilah studi yang berimplikasi lebih luas terhadap beberapa bentuk penyelidikan (inquiry), termasuk praktek reflektif.
  2. Secara eksplisit ditegaskan mengenai komitmen terhadap praktek yang lebih etis (ethical practice).
  3. Objek teknologi pendidikan adalah memberikan kemudahan belajar (facilitating learning) terhadap pemelajar.
  4. Menempatkan belajar sebagai pusat (center) dari definisi teknologi pendidikan.
  5. Adanya unsur peningkatan kinerja  (improving performance)  berimplikasi terhadap pentingnya kriteria mutu (quality criterion), yang merupakan tujuan dari upaya memberikan kemudahan belajar yang lebih baik.
  6. Definisi 2004 menjelaskan fungsi-fungsi utama dari bidang, yaitu: penciptaan, pemanfaatan, dan pengelolaan yang berbeda dengan definisi 1994 (desain, pengembangan, pemanfaatan, pengelolaan, dan penilaian).
  7. Mengkhususkan pada pemanfaatan alat dan metode yang tepat, yang bermakna sesuai dengan orang dan kondisi sehingga bisa diterapkan.
D.   Penutup
Sebagai sebuah draft tentatif, diskursus tentang definisi ini sangat penting diapresiasi dan dimaknai sebagai suatu upaya untuk lebih memperkokoh teknologi pendidikan sebagai sebuah bidang kajian atau disiplin ilmu.  Dengan kata lain, masukan-masukan konstruktif bagi kesempurnaan dan kemantapan definisi ini mutlak diperlukan melalui berbagai kajian ilmiah yang intens.